Restartid.com – Hampir lima tahun sejak peluncuran 5G di Hong Kong, penetrasi layanan ini telah mencapai 30% dari total pelanggan seluler pada September 2024. Sebaliknya, penetrasi 5G di Indonesia masih berjalan lambat, bahkan jauh di bawah ekspektasi.
Hong Kong: Kepemimpinan dalam Teknologi 5G
Menurut data dari Office of the Communications Authority (OFCA), pelanggan 5G di Hong Kong tumbuh signifikan, mencapai 7,6 juta pelanggan pada 2024, meningkat 16,1% secara tahunan. Meskipun pelanggan 4G masih dominan di angka 17,5 juta, adopsi 5G di negara tersebut menunjukkan tren yang menjanjikan.
Rata-rata konsumsi data juga meningkat sebesar 7,7% menjadi 8,6 GB per bulan. Mayoritas operator di Hong Kong menggunakan spektrum 3,5 GHz, sejak layanan pertama kali diperkenalkan pada 2020. Salah satu yang memimpin dalam adopsi ini adalah China Mobile Hong Kong (CMHK), yang telah meluncurkan layanan roaming internasional 5G Standalone (SA).
Inisiatif pemerintah China dalam mengintegrasikan Greater Bay Area—terdiri dari Guangdong, Hong Kong, dan Makau—juga mempercepat perkembangan jaringan 5G, memastikan konektivitas lebih luas dengan latensi rendah dan kecepatan tinggi di seluruh wilayah tersebut.
Hingga akhir 2024, jaringan roaming 5G SA di daratan China telah mencakup kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan seluruh Provinsi Guangdong. Dengan lebih dari 2,3 juta stasiun basis 5G yang dioperasikan oleh China Mobile di 330 kota, kecepatan unggah dan unduh 5G SA menjadi solusi ideal untuk mobilitas tinggi.
Indonesia: Tantangan dan Hambatan dalam Adopsi 5G
Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan teknologi 5G secara luas. Sejak diperkenalkan pada Mei 2021, penetrasi 5G di Indonesia hanya mencapai 5% dari total populasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang membuat pengembangan 5G berjalan lambat.
1. Infrastruktur yang Belum Memadai
Salah satu kendala terbesar adalah minimnya infrastruktur pendukung, termasuk:
- Base Transceiver Station (BTS) yang masih kurang rapat.
- Jaringan serat optik yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.
Teknologi 5G memerlukan spektrum frekuensi lebar dan stabil, sehingga pengembangan jaringan fiber optic menjadi kunci utama. Namun, investasi besar dan perizinan yang rumit menghambat operator dalam membangun infrastruktur ini secara masif.
2. Keterbatasan Spektrum Frekuensi
Pita frekuensi untuk 5G di Indonesia saat ini masih terbatas. Operator hanya bisa memanfaatkan frekuensi existing seperti:
- Telkomsel dengan 50 MHz pada 2.300 MHz
- Indosat dengan 20 MHz pada 1.800 MHz
- XL Axiata dengan 20 MHz pada 1.800 MHz
Namun, angka ini jauh dari standar minimal 100 MHz yang ideal untuk ekspansi jaringan 5G optimal. Kurangnya spektrum contiguous (frekuensi bersebelahan) membuat implementasi 5G di Indonesia kerap dijuluki sebagai “5G rasa 4G”.
3. Fokus pada 4G sebagai Lumbung Pendapatan
Operator masih mengutamakan 4G yang menjadi tulang punggung utama pendapatan mereka saat ini. Dengan pertumbuhan trafik data yang stabil, ekspansi 4G lebih diminati dibandingkan investasi besar untuk membangun 5G yang belum memberikan imbal hasil signifikan dalam jangka pendek.
Peluang Ekonomi di Balik Implementasi 5G
Menurut kajian yang dipublikasikan oleh Ivan Samuels dari ITB pada 2020, potensi 5G untuk mendukung ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Jaringan 5G diproyeksikan dapat menyumbang sebesar 9,3% hingga 9,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan nilai mencapai Rp 2.874 triliun pada tahun 2030.
Namun, tanpa adanya kebijakan strategis untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan pengalokasian spektrum khusus 5G, potensi ini sulit terealisasi.
Masa Depan 5G di Indonesia
Meskipun perkembangan 5G di Indonesia berjalan lambat, ada harapan bagi industri telekomunikasi jika pemerintah dan operator seluler bersedia berinvestasi lebih agresif, baik dalam pengadaan spektrum maupun pengembangan jaringan.
Jika hambatan infrastruktur dan regulasi bisa diatasi, bukan tidak mungkin penetrasi 5G di Indonesia akan mengalami lonjakan, mendukung ekonomi digital dan membuka peluang baru dalam teknologi masa depan. Namun, hingga saat itu tiba, Indonesia masih harus puas dengan 5G yang bergerak “di tempat.”