Berita  

Kecepatan Internet Indonesia Masih Tertinggal dari Laos dan Kamboja, Pakar ITB Beri Saran

Kecepatan Internet Indonesia Masih Tertinggal dari Laos dan Kamboja, Pakar ITB Beri Saran
Ilustrasi internet

Restartid.com – Indonesia kembali tertinggal dalam peringkat kecepatan internet di Asia Tenggara, bahkan masih di bawah Laos dan Kamboja. Meskipun pemerintah terus mendorong peningkatan infrastruktur digital, para pakar menilai bahwa pemerataan akses internet lebih penting daripada sekadar meningkatkan kecepatan.

Fokus Pemerintah Seharusnya Pemerataan Akses, Bukan Sekadar Kecepatan

Menurut Agung Harsoyo, pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan pemerataan akses internet dibanding hanya meningkatkan kecepatan hingga 100 Mbps.

“Aplikasi yang tersedia di Indonesia sudah dapat berjalan optimal dengan kecepatan yang ada saat ini,” ujar Agung pada Jumat (14/2/2025).

Ia mencontohkan bahwa dengan kecepatan internet yang ada saat ini, masyarakat sudah dapat melakukan berbagai aktivitas digital seperti pengemudi transportasi daring yang bisa menerima pesanan dan menggunakan aplikasi peta, serta aktivitas belajar dan bekerja secara daring yang masih berjalan lancar. Bahkan, layanan video streaming seperti YouTube pun bisa dinikmati tanpa kendala berarti.

Agung mengingatkan bahwa jika fokus utama hanya pada kecepatan internet yang tinggi, justru vendor perangkat telekomunikasi dan layanan OTT global yang akan lebih diuntungkan, bukan masyarakat Indonesia.

Mengapa Kecepatan Internet Indonesia Masih Rendah?

Kecepatan internet di Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga disebabkan oleh berbagai faktor, baik teknis maupun non-teknis.

Faktor Teknis

  1. Biaya regulasi yang tinggi – Operator telekomunikasi harus menanggung beban regulasi yang besar, yang berimbas pada mahalnya biaya layanan internet bagi masyarakat.
  2. Sulitnya pembangunan jaringan internet – Infrastruktur internet belum terintegrasi dengan baik dalam pembangunan kota.
  3. Tidak adanya ducting bersama – Berbeda dengan Singapura yang menyiapkan infrastruktur pasif untuk jaringan listrik, air, dan internet secara terpusat, di Indonesia setiap operator harus membangun jaringannya sendiri, yang menyebabkan biaya lebih tinggi.

Faktor Non-Teknis

  1. Daya beli masyarakat masih rendah – Banyak masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dibanding layanan internet berkualitas tinggi.
  2. Regulasi yang membebani operator – Menurut Agung, sektor telekomunikasi seharusnya dilihat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan telekomunikasi.

Solusi: Regulasi yang Lebih Mendukung Operator dan Masyarakat

Agar masyarakat bisa mendapatkan internet berkualitas dengan harga terjangkau, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) disarankan untuk mengurangi beban regulasi bagi operator telekomunikasi.

“Komdigi harus melihat sektor telekomunikasi sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi dari pemerintahan Presiden Prabowo, bukan hanya sebagai sumber PNBP,” tegas Agung.

Jika regulasi lebih fleksibel dan biaya operasional lebih rendah, operator dapat memperluas jaringan ke daerah-daerah terpencil tanpa harus menaikkan harga layanan internet. Dengan begitu, akses internet yang merata di seluruh Indonesia bisa tercapai, bukan hanya kecepatan tinggi di kota-kota besar. 🚀