Restartid.com – Era kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi perusahaan teknologi global, termasuk Ericsson. Raksasa telekomunikasi asal Swedia ini berupaya memanfaatkan hubungan dengan AS untuk tetap berada di garis terdepan dalam pengembangan teknologi mutakhir, terutama dalam jaringan 5G dan kecerdasan buatan (AI). Namun, rekam jejak perusahaan yang pernah tersandung kasus korupsi justru memberikan bayangan gelap di balik upaya mempererat kerjasama.
Kerjasama untuk Memajukan OpenRAN dan AI
Dalam wawancara dengan Reuters Global Markets Forum, CTO Ericsson, Erik Ekudden, menyatakan optimisme terhadap potensi kerjasama teknologi antara Ericsson dan Amerika Serikat. Ekudden menyoroti pentingnya AS sebagai pemimpin dalam pengembangan 5G dan AI, serta menyebutkan peluang fantastis di bawah kepemimpinan Donald Trump untuk meningkatkan kontribusi Ericsson.
Salah satu fokus utama adalah teknologi OpenRAN yang memungkinkan operator telekomunikasi mencampur dan mencocokkan pemasok jaringan radio. Langkah ini dinilai strategis untuk bersaing dengan raksasa lain seperti Huawei dan Nokia, yang juga menguasai pasar global.
Ericsson berkomitmen mengembangkan pusat data berbasis kecerdasan buatan, yang tidak hanya mendukung kinerja 5G tetapi juga memberikan keunggulan dalam optimalisasi teknologi jaringan. Ekudden menegaskan bahwa inovasi ini memerlukan strategi komprehensif dari setiap negara.
Keuntungan Model Produksi Lokal
Ekudden juga menyinggung keuntungan dari model bisnis Ericsson yang mengadopsi pendekatan lokal-untuk-lokal. Pendekatan ini membantu perusahaan meminimalkan risiko gangguan rantai pasok global akibat ketegangan geopolitik seperti perang dagang. Hal ini menjadi nilai tambah di tengah kebijakan proteksionis AS yang semakin ketat di bawah Trump.
Meski menunjukkan kesiapan untuk beradaptasi dengan kebijakan tarif baru, Ekudden menolak berspekulasi lebih jauh terkait dampaknya pada operasi Ericsson.
Bayangan Gelap Skandal Korupsi
Namun, upaya Ericsson membangun relasi baru di AS tidak lepas dari sorotan negatif terkait kasus korupsi besar yang melibatkan perusahaan. Pada tahun 2019, Ericsson mengakui pelanggaran terhadap Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) dengan membayar denda sebesar US$ 520,6 juta. Perusahaan juga sepakat membayar US$ 540 juta kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC).
Skandal ini melibatkan pembayaran suap kepada pejabat pemerintah di Djibouti, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, dan Kuwait. Jaksa penuntut mengungkapkan bahwa Ericsson menggunakan kontrak palsu, faktur palsu, dan konsultan luar untuk mengaburkan dana gelap yang dikelola perusahaan.
Meskipun telah menyelesaikan denda tersebut dan menandatangani perjanjian penuntutan yang ditangguhkan (Deferred Prosecution Agreement/DPA) dengan Departemen Kehakiman AS (DOJ), Ericsson dituduh melanggar perjanjian itu. DOJ menyatakan perusahaan gagal mengungkapkan informasi penting terkait skema di Djibouti, Tiongkok, serta dugaan kasus serupa di Irak.
Peluang dan Beban di Masa Depan
Meski memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya di pasar teknologi Amerika Serikat, Ericsson masih harus menghadapi tantangan dari sisi reputasi. Bayangan kasus korupsi di masa lalu dapat menjadi hambatan untuk sepenuhnya membangun kepercayaan di pasar global, khususnya di AS yang memiliki regulasi ketat terhadap pelanggaran korporasi.
Namun demikian, dengan pendekatan inovatif dalam mengembangkan OpenRAN, kecerdasan buatan, serta strategi produksi lokal, Ericsson tetap menjadi salah satu pemain utama dalam lanskap teknologi dunia. Jika mampu mengelola risiko dan membersihkan citranya, kerjasama dengan AS di era Trump dapat menjadi batu loncatan besar bagi perusahaan ini.
Akankah Ericsson berhasil menutup bab gelap masa lalunya dan bertransformasi menjadi mitra strategis andalan Amerika Serikat? Hanya waktu yang akan menjawab.