Restartid.com – Pelantikan Presiden Donald Trump pada 20 Januari 2025 memberikan gebrakan besar dalam kebijakan politik terkait teknologi, terutama bagi TikTok. Dalam langkah yang mengejutkan banyak pihak, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk menunda pemberlakuan larangan federal terhadap TikTok selama 75 hari ke depan, memberikan sedikit nafas bagi platform yang sempat terancam diblokir di Amerika Serikat.
Perintah eksekutif ini menangguhkan pemberlakuan undang-undang yang telah disahkan pada hari Minggu sebelumnya. Meski tindakan tersebut tidak sepenuhnya jelas apakah akan membatalkan aturan yang ada, keputusan ini memberikan celah waktu untuk pemerintahan Trump menyusun langkah lebih lanjut mengenai status TikTok. Salah satu hal yang menonjol dari perintah ini adalah instruksi kepada Jaksa Agung untuk tidak menegakkan hukum selama masa penundaan, memberi kesempatan kepada pemerintah untuk meninjau opsi dan tindakan yang lebih tepat ke depan.
Trump menyatakan kepada wartawan bahwa menurutnya, TikTok bisa bernilai lebih dari satu triliun dolar, dan sebagai salah satu kekuatan besar media sosial, Amerika Serikat berhak mendapatkan keuntungan darinya. Pernyataan tersebut menciptakan spekulasi bahwa Trump tidak hanya ingin menyelamatkan TikTok, tetapi juga mencari peluang untuk memperolehnya kembali sebagai aset strategis. Hal ini mencuatkan isu tentang peran Trump dalam menciptakan celah-celah kebijakan yang bisa berujung pada keuntungan ekonomi besar bagi AS, sambil menjaga kekuasaan teknologi dari negara lain.
Hukum yang Bertabrakan: Menantang Kewenangan Presiden
Namun, perintah eksekutif ini segera diserbu kritik dari berbagai kalangan. Kritikus menyebut langkah Trump sebagai ancaman terhadap supremasi hukum dan batas kekuasaan eksekutif. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana seorang presiden memiliki kewenangan untuk mengubah atau menghentikan pemberlakuan hukum federal yang sudah sah, terutama ketika Mahkamah Agung telah menegaskan keabsahan undang-undang terkait larangan TikTok.
Peraturan federal yang diluncurkan sebelumnya mewajibkan TikTok—aplikasi asal ByteDance dari Tiongkok—untuk dijual kepada pemilik non-Tiongkok, atau akan diblokir di AS. Proses penjualannya harus menyertakan “kemajuan signifikan” dalam periode 75 hari tersebut untuk dapat memenuhi syarat agar mendapatkan perpanjangan waktu 90 hari. Meskipun demikian, hingga saat ini tidak ada kejelasan apakah pembelian oleh pihak non-Tiongkok akan tercapai dalam waktu yang sangat terbatas ini.
TikTok dan Implikasinya bagi Pengguna
Kebijakan ini memiliki dampak signifikan bagi lebih dari 170 juta pengguna TikTok di AS. Banyak orang yang telah terbiasa menggunakan platform ini untuk berbagi video dan mengembangkan bisnis kecil di sana. TikTok telah menjadi salah satu alat utama dalam merumuskan budaya populer, menciptakan peluang baru bagi para influencer dan pemasar digital. Dengan pelarangan yang sempat direncanakan, banyak yang merasa khawatir kehilangan akses ke bagian penting dari ekosistem digital mereka. Keputusan Trump untuk mempertahankan TikTok memberikan angin segar bagi mereka yang bergantung pada aplikasi ini sebagai sarana promosi dan hiburan.
TikTok mengonfirmasi bahwa platform kembali aktif di AS setelah pengumuman dari Trump. Dalam sebuah pesan yang ditampilkan kepada penggunanya, TikTok mengucapkan terima kasih kepada Presiden atas usahanya yang membawa platform ini kembali online di negara tersebut.
Tanggapan dari Para Bos Teknologi
Seiring dengan keputusan kontroversial ini, langkah Trump semakin mempertegas peran tokoh-tokoh besar dari industri teknologi dalam perpolitikan AS. Ternyata, di balik keputusan ini ada kaitan dengan tindakan lebih lanjut yang dapat mempengaruhi hubungan antara Trump dengan para CEO teknologi. Shou Zi Chew, CEO TikTok AS, ikut hadir dalam acara pelantikan Trump di Washington D.C., berdampingan dengan CEO besar lainnya seperti Tim Cook dari Apple, Mark Zuckerberg dari Meta, Jeff Bezos dari Amazon, hingga Sundar Pichai dari Google. Tidak hanya hadir dalam kapasitas pribadi, para bos teknologi besar ini juga diketahui mensponsori pelantikan Trump, dengan menyumbangkan dana sebesar $50.000, menunjukkan bahwa hubungan politik antara sektor teknologi dengan pejabat pemerintahan tetap berjalan erat.
TikTok dan perusahaan-perusahaan teknologi lainnya harus memastikan bahwa langkah-langkah seperti ini dapat menghasilkan keberuntungan atau hubungan lebih baik dengan pemerintahan, agar tidak mengalami hambatan serius dalam menjalankan bisnis mereka di AS. Keputusan ini juga memperlihatkan betapa dekatnya hubungan antara pengusaha dan penguasa yang bisa menentukan arah kebijakan pemerintah terhadap perusahaan besar yang memiliki kekuatan besar.
Pertanyaan Besar ke Depan: Apakah Ini Bentuk Ketergantungan yang Sehat?
Bagi pengamat politik dan hukum, tindakan Trump semakin memperlihatkan betapa dekatnya hubungan antara negara dengan konglomerat teknologi. Banyak yang mulai menilai apakah keberadaan perusahaan-perusahaan ini telah menggerus konsep demokrasi dan kewenangan legislatif. Apakah langkah Trump ini akan berbuah manis dalam melindungi keberlanjutan bisnis ataukah justru akan memicu ketegangan lebih lanjut mengenai pengaruh industri terhadap pengambilan keputusan politik?
Pelanggaran terhadap aturan ini sepertinya hanya bisa didalami seiring waktu, dan publik harus menunggu bagaimana kelanjutan nasib TikTok setelah periode penundaan ini. Jika pemerintah Trump berhasil memanfaatkan kesempatan ini, bisa jadi TikTok akan terus hidup berkembang di Amerika Serikat, jika tidak, masa depan platform ini akan tetap dipenuhi dengan ketidakpastian dan tantangan hukum yang mungkin lebih besar.